Minggu, 19 Oktober 2014

MUHAMMAD NATSIR


PEMIKIRAN MUHAMMAD NATSIR
Oleh : Nur’aina Sastri
Jurusan/Semester: PAI/IV
Konsentrasi: Qur’an Hadits

Dosen Pengampu:
 Dra. Hj. Ilmiyati, M.Ag
Madju atau mundurnja salah satu kaum bergantung sebagian besar kepada peladjaran dan pendidikan jang berlaku dalam kalangan mereka itu. Tak ada satu bangsa jang terbelakang menjadi madju, melainkan sesudahnja mengadakan dan memperbaiki didikan anak-anak dan pemuda-pemuda mereka
(Muhammad Natsir)

A.     PENDAHULUAN
Peradaban umat Islam mengalami kemajuan pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw. kedatangan Rasulullah membawa perubahan kearah pertumbuhan dan perkembangan disegala sisi, baik itu ketauhidan, pemerintahan, dan pengetahuan. Rasulullah tidak hanya berperan sebagai pemimpin agama,akan tetapi dalam hal kepemimpinan pemerintahannya, beliau mampu membawa masyarakat kepada kemajuan
Peradaban Islam mengalami kemunduran cukup lama. Saat ini, wujud nyata Islam yang melahirkan berbagai pengetahuan seakan hilang begitu saja.  Bahkan, Islam saat ini seolah terbatas hanya pada ruang sempit. Hal ini semakin mendominasi pandangan orang-orang awam yang mengikuti pada paham adanya dikotomi pendidikan. Salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam dan khususnya keterbelakangan yang terjadi di Indonesia adalah paham dikotomi pendidikan.
Salah satu tokoh yang berjuang untuk memperbaharui pendefinisian dan implementasi pendidikan di Indonesia adalah Muhammad Natsir. Para tokoh Islam yang berusahan berkecimpung dalam hal ini juga dilatarbelakangi oleh adanya dikotomik pendidikan (kegamaan dan pengetahuan umum). Kepedulian mereka merupakan wujud kepedulian mereka terhadap pandangan dikotomik yang sangat mendominasi masyarakat Indonesia. padahal, segala ilmu pengetahuan berawal dari Keislamaaan. Tapi sayangnya, kebanyakan masyarakat Indonesia menjadikan Barat sebagai kiblat kemajuan pengetahuan.
Melalui berbagai kegiatan/pendekatan politik dan kultural di Indonesia keduanya berhasil secara signifikan dalam merubah wajah dan sistem (manajemen) pendidikan khususnya pada cakupan kurikulum pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pokok-pokok pemikiran kedua tokoh ini akhirnya menginspirasi dinamika pendidikan di Indonesia hingga kini. Oleh karena itu, didalam makalah ini akan menguraikan tentang salah satu dari kedua tokoh tersebut, yaitu Muhammad Natsir mengenai biografi, karya dan hasil pemmikirannya.

B.   Biografi Muhammad Natsir
Nama lengkapnya Muhammad Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya bernama Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Natsir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau.[1]
Sebagai seorang pegawai bawahan, ayanya sering berpindah tugasdari satu daerah kedaerah lain. Semula ditugaskan didaerah asalnya Alahan Panjang, kemudian dipercaya menjadi asisten demang di Bonjol, berikutnya menjadi juru tulis kontrolir di Maninjau, lalu dimutilasikan sebagai sipir di Bekeru Sulawesi menjelang pensiun di kembalikan lagi ke tempat tugas semula di Alahan Panjang. Kondisi kehidupan orang tua yang sering berpindah tugas, ikut pula mempengaruhi latar belakang pendidikan Mohammad Natsir.[2]
Mohammad Natsir merupakan salah seorang pejuang yang berjuang untuk mempertahankan negara kesatuan RI. Ia telah berjasa dalam menyelamatkan Republik dari ancaman perpecahan. pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Rum-Royen, untuk kembali ke Jogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Sukarno Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalehan Natsir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya”.[3] Pada tahun 1923, Natsir lulus dari HIS. Ia lalu pergi kekota Padang dan melanjutkan ke MULO (Midlebare Uitgebreid Larger Onderwys). Untuk menjadi pelajar di MULO dimasa itu, sedikitnya harus memenuhi beberapa persyaratan. Ia mestilah anakyang punya kemampuan intelektual memadai, mampu berbahasa Belanda dan biasanya anak orang terpandang. Ketika di MULO inilah Natsir mulai mengenal Jong Islamitien Bond. Usai menamatkan MULO pada tahun 1927 Natsir pergi ke Bandung dan melanjutkan pendidikan formalnya di AMS (Algemene Middlebare School). Disinilah Natsir mulai berkenalan dengan pergaulan yang meluas. Di AMS Natsir mendapat nilai tertinggi dalam bahasa latin. Dengan bekal kemampuannya berbahasa asing, ia mampu mengakses ilmu pengetahuan dengan berbasis bahasa tersebut. Karena usianya yang masih belia 21 tahun, Natsir sudah fasih menjelaskan peradaban dunia yang berbasis pada Islam, Romawi, dan Yunani.[4]
Natsir mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan Natasir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam”.[5]
Natsir juga seorang tokoh pendidik, pembela rakyat kecil dan negarawan terkemuka di Indonesia pada abad kedua puluh. Kemudian ketika kegiatan politiknya dihambat oleh penguasa, dia berjuang melalui dakwah dengan membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dimana dia berkiprah sampai akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil. Pengalaman organisasinya mulai ketika dia masuk Jong Islamieten Bond (JIB) di Padang. Di Bandung dia menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932, menjadi ketua Partai Islam Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun empat puluhan menjadi anggota Majlis Islam Indonesia (MIAI), cikal bakal partai Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang kemudian dipimpinnya. Dan Ia menjalin hubungan dengan tokoh politik seperti Wiwoho yang terkenal dengan mosinyaIndonesia Berparlemen kepada pemerintah Belanda, dengan Sukarno, dan tokoh politik Islam lainnya yang kemudian menjadi tokoh Masyumi, seperti Kasman Singodimejo, Yusuf Wibisono dan Mohammad Roem. Berbeda dengan tokoh pergerakan lainnya, sejak semula Natasir juga bergerak di bidang dakwah untuk membina kader. Pada mulanya ia aktif dalam pendidikan agama di Bandung, kemudian mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang mengasuh sekolah dari TK, HIS, Mulo dan Kweekschool yang dipimpinnya 1932-1942”.[6]
Di samping itu ia rajin menulis artikel di majalah terkemuka, seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Dalam tulisannya dia membela dan mempertahankan Islam dari serangan kaum nasionalis yang kurang mengerti Islam seperti Ir. Sukarno dan Dr. Sutomo. Khusus dengan Sukarno, Natsir terlibat polemik hebat dan panjang antara tahun 1936-1940an tentang bentuk dan dasar negara Indonesia yang akan didirikan. Natsir menolak ide sekularisasi dan westernisasi ala Turki di bawah Kemal Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. Tulisan-tulisannya yang mengeritik pandangan nasionalis sekuler Sukarno ini kemudian dibukukan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid buku Capita Selecta.
Kegiatan politik Natsir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta 1948 Natsir ditujuk sebagai Menteri Penerangan. Sebagai menteri, tanpa rasa rendah diri dia menerima tamunya di kantor menteri dengan pakaian amat sederhana, ditambal, sebagaimana ditulis kemudian oleh Prof. George Kahin, seorang ahli sejarah Indonesia berkebangsaan Amerika yang waktu itu mengunjunginya di Yogya. Ketika terbentuknya negara RIS sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, Natasir memelopori kembali ke negara kesatuan RI dengan mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS pada tanggal 3 April 1950. Bersama dengan Hatta yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri RIS, ide ini tercapai dengan dibentuknya negara kesatuan RI pada 17 Agustus 1950. Mungkin atas jasanya itu, Natsir ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Sukarno, atau juga karena pengaruhnya yang besar, sebagaimana kemudian terlihat dari hasil Pemilu 1955”.[7]
Pada masa Demokrasi Terpimpin Soekarno pada tahun 1958, Natsir mengambil sikap menentang politik pemerintah. Keadaan ini mendorongnya untuk bergabung dengan para penentang lainnya dan membentuk pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), suatu pemerintahan tandingan di Pedalaman Sumatera. Tokoh PRRI menyatakan bahwa pemerintah di bawah presiden Soekarno saat itu secara garis besar telah menyeleweng dari UUD 1945. Sebagai akibat tindakan Natsir dan tokoh PRRI lainnya yang didominasi anggota Masyumi ditangkap dan dimasukkan penjara. Natsir dikirim ke Batu Malang (1962-1964), Syafarudin Prawiranegara  dikirim ke Jawa Tengah, Burhanuddin Harahap dikirim ke luar negeri. Partai Masyumi dibubarkan melalui pidato Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960. Natsir dibebaskan pada bulan Juli 1966 setelah pemerintah Orde lama digantikan oleh pemerintahan Orde Baru.[8]
Pada saat Orde Baru muncul, Natsir tidak mendapat tempat kedudukan dipemerintahan Orde Baru untuk ikut memimpin negara. Oleh karena itu, pada tahun 1967 Natsir beserta para ulama lainnya melalui yayasan yang dibentuknya di Jakarta, yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) memilih dakwah sebagai format gerakannya, tidak melalui format politik. Namun demikian ia juga tetap kritis terhadap berbagai masalah politik. Sikap kritis dan korektif Natsir pada masa itu membuat hubungannya dengan pemerintahan Orde Baru menjadi tidak harmonis.  
Ketika PRRI berakhir dengan pemberian amnesti, Natsir bersama tokoh lainnya kembali, namun kemudian ia dikarantina di Batu, Jawa Timur (1960-62), kemudian di Rumah Tahanan Militer Jakarta sampai dibebaskan oleh pemerintahan Suharto tahun 1966. Ia dibebaskan tanpa pengadilan dan satu tuduhanpun kepadanya. Walaupun tidak lagi dipakai secara formal, Natsir tetap mempunyai pengaruh dan menyumbang bagi kepentingan bangsa, misalnya ikut membantu pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia. Melalui hubungan baiknya, Natasir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Malaysia Tungku Abdul Rahman guna mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia yang kemudian segera terwujud.”[9]
Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natsir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.”[10]
Pada tanggal 6 Februari 1993 Natasir meninggal dunia di Rumah sakit CiptoMangunkusumo Jakarta dalam usia 85 tahun. Natsir meninggalkan seorang istri, Nur Nahar yang dinikahinya pada tanggal 20 oktober 1934 di Bandung dan enam orang anak serta sejumlah cucu.[11] Dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tapi juga dari luar negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang mengirim surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia. Walaupun telah tiada, buah karya dan pemikirannya dapat dibaca dari puluhan tulisannya yang sudah beredar, mulai dari bidang politik, agama dan sosial, di samping lembaga-lembaga amal yang didirikannya.

C.      Pemikiran Muhammad Natsir Tentang Pendidikan
Pemahaman Muhammad Natsir tentang Pendidikan memiliki tiga pesoalan penting yang harus dicermati: bagaimana hakikat manusia sebagai pelaku pendidikan, bagaimana hakikat pendidikan menurut Islam, dan bagaimana konsep nilai yang ingin direalisasikan dalam sistem pendidikan.
1.        Konsep Pendidikan
Salah satu konsep pendidikan yang terkenal dari Natsir adalah konsep pendidikan yang integral, harmonis, dan universal. Konsep ini merupakan hasil dari ijtihad dan renungan yang digali Natsir langsung dari Al-qur’an dan Hadis. Konsep pendidikan tersebut juga merupakan reaksi serta refleksi Natsir terhadap kenyataan sosio historis yang ditemukan dalam masyarakat. Konsep tersebut menurut Natsir ternyata tidak atau belum ditemukan dalam masyarakat Islam dimanapun. Natsir menilai bahwa pendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat Islam tidak sesuai dengan konsep pendidikan ideal yang dicita-citakan Natsir. Konsep pendidikan yang ada adalah konsep pendidikan yang bersifaat parokhial, diferensial, dikotomis, dan disharmonis. Bukan konsep yang universal, integral, dan harmonis. Kondisi tersebut menurutnya diakibatkan dunia Islam sekian lama berada dalam alam kegelapan didominasi oleh pemikiran tasawuf dan berada dalam penjajahan Barat selama berabad-abad.[12]
Konsepsi pendidikan yang diungkapkan Natsir tidak dapat dilepaskan dari misinya untuk menyebarkan agama Islam, sebagai agama yang universal. Islam bukan sekadar ajaran tentang tata hubungan antara manusia dengan tuhan, melainkan suatu pandangan hidup dan sekaligus pegangan hidup. Bersifat universal ini dapat dipahami bahwa Islam tidak mengenal batas-batas negeri, negara, dan benua. Dengan demikian, kebenaran tidak mengenal Barat dan Timur. Dengan demikian, tidak perlu ada pertentangan dalam ilmu, apakah datangnya dari Barat ataupun dari Timur. Itulah sebabnya Rasulullah tidak membatasi wilayah-wilayah tertentu bagi umatnya untuk mendapatkan ilmu. Menurut Muhammad Natsir, pendidikan Timur dan Barat tidak dipertentangkan. Sebagai sesuatu yang diciptakan oleh manusia sendiri dan bersifat baru. Kedua sistem pendidikan mempunyai kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, pendidikan yang islami adalah pendidikan yang mengambil yang baik dari manapun datangnya dan menyingkirkan yang buruk dari manapun datangnya. Pendapat ini memperkuat prinsip Natsir yang menyatakan bahwa pendidikan Islam bersifat universal dan sekaligus integral dan harmonis. Menurut Natsir, kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam tidaklah diukur dengan penguasaan duniawi saja, akan tetapi sampai dimana kehidupan duniawi memberikan aset kehidupan diakhirat kelak.[13]
Menurut Natsir, untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, hanya dua instrumen yang dapat digunakan, yakni inderawi dan akal. Melalui inderawi, akan dapat diketahui ilmu yang bersifat konkrit, sedangkan melalui akal, akan dapat diketahui ilmu yang bersifat metafisik melalui proses olah pikir memahami ayat-ayat Tuhan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Menurut Natsir, untuk mengembangkan ilmu pengetahuan secara sistematis dan komprehensif diperlukan corak lembaga pendidikan yang lebih variatif, bisa berbentuk lembaga pendidikan keagamaan dan dapat pula berbentuk lembaga pendidikan umum. Bertolak dari landasan diatas, maka dalam tataran implementatif terlihat Natsir mengutip pendapat Muhammad Abduh, tentang perlunya proses transformasi ilmu pengetahuan terhadap peserta didik yang harus disesuaikan dengan tingkatan perkembangan kecerdasannya.[14]

2.        Manusia sebagai Subjek Pendidikan
Dalam pandangan Muhammad Natsir, manusia merupakan makhluk Allah yang paling istimewa jika dibandingkan dengan makhluk lainnya, baik jasmani maupun rohani. Pada aspek jasmaniah, keistimewaan manusia bukanlah difokuskan pada bentuk fisik lahiriah karena fisik akan selalu berproses dan kembali ke asalnya menjadi tanah. Keistimewaan fisik lebih dominan pada kemampuannya memfungsikan pancaindera untuk dapat menghubungkan dirinya dengan alam luar sekelilingnya. Dengan demikian manusia memungkinkan untuk dapat melakukan rekayasa alam untuk kelangsungn hidupnya kearah yang lebih baik. Sedangkan dari segi ruhani, manusisa memiliki ruh, akal, hati, dhomir (hati nurani) dan nafsu.[15]
Adapun menurut Natsir, ruh merupakan tabi’at Ilahi yang berasal dari alam arwah dan selalu berada dalam kesucian. Karena ruh tersebut bersifat ruhaniah dan suci, maka setelah ruh ditiupkan Allah ke dalam jasad manusia ia tetap dalam keadaan suci. Fungsi ruh bagi manusia adalah sebagai sumber kehidupan dan sumber kemuliaan. Dalam pandangannya, manusia hanya mampu memperhatikan gejala yang ditimbulkan ruh. Pendapat ini didasarkannya pada firman Allah dalam Q.S. al-Sajdah: 9 yang berbunyi: “Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Disisi lain, adapun akal sebagai komponen ruhani menurut Natsir merupakan daya berfikir yang terdapat di otak, fungsi akal adalah untuk dapat berfikir memahami sunnatullah sekaligus mampu memecahkan masalah yang dihadapi dalam realitas kehidupan manusia. Sedangkan hati merupakan daya berfikir yang terletak pada jiwa manusia yang dapat merasakan keindahan dan kebaikan. Menurut Natsir ada dua sumber pengetahuan yang dimiliki manusia, yakni pengetahuan akal yaitu mengetahui yang baik dan yang buruk. Sedangkan pengetahuanhati yaitu manusia dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk.[16]
Semua komponen ruhaniah, sebagaimana disebut diatas merupakan kebutuhan esensial bagi manusia secara integral untuk mencapai tujuan hidupnya. Jika terjadi ketimpangan, sehingga terkadang nafsu tidak lagi dapat dikendalikan oleh dhomir, maka manusia akan jatuh pada derajat yang hina, bahkan lebih hina dari hewan. Sebagai ciptaan Allah yang suci, maka fitrah setiap individu pada hakikatnya adalah suci, tidak ada dosa warisan terhadap fitrah manusia tersebut, meskipun seorang individu terlahir dari kalangan keluarga non muslim. Baik atau buruknya seseorang baru dapat dinilai setelah terjadi proses interaksi antara fitrah yang dimiliki dengan situasi lingkungan yang mempengaruhinya.

3.        Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan Islam yang ingin dicapai oleh Mohammad Natsir adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.[17] Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku Islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 177  Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari-hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesame manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.[18]
Bagi Muhammad Natsir, fungsi tujuan pendidikan adalah memperhambakan diri kepada Allah SWT semata yang bisa mendatangkan kebahagiaan bagi penyembahnya. Hal ini juga yang disimpulkan oleh Abuddin Nata, tentang tujuan pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir, bahwa pendidikan Islam ingin menjadikan manusia yang memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT. Hal ini sesuai dengan konsep Islam terhadap manusia itu sendiri. Bahwa mereka diciptakan oleh Allah untuk menghambakan diri hanya kepada Allah semata. Oleh karenanya segala usaha dan upaya manusia harus mengarah ke sana, di antaranya adalah pendidikan. Firman Allah SWT “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyaat: 56)
Selanjutnya Natsir mengatakan bahwa apabila manusia telah menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah, berarti ia telah berada dalam dimensi kehidupan yang mensejahterakan di dunia dan membahagiakan di akhirat. Menurut Natsir dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam, hendaknya mempertimbangkan posisi manusia sebagai ciptaan Allah yang terbaik dan sebagai khalifah di muka bumi.[19] Perkataan menyembah-Ku sebagaimana terdapat dalam potongan surat adz-Dzariyat tersebut di atas menurut Natsir memiliki arti yang sangat dalam dan luas, lebih luas dan dalam dari perkataan-perkataan itu yang biasa kita dengar dan gunakan setiap hari. ”Menyembah Allah” itu melengkapi semua ketaatan dan ketundukan kepada semua perintah Ilahi yang membawa kepada kebesaran dunia dan kemenangan di akhirat, serta menjauhkan diri dari segala larangan yang menghalangi tercapainya kemenangan di dunia dan di akhirat itu.[20]
Mengurus pendidikan anak-anak orang Islam bukan hanya menjadi fardhu ‘ain bagi orang tuanya, tapi juga menjadi fardhu kifayah bagi tiap-tiap anggota dalam sebuah masyarakat. Beliau dasarkan pada firman Allah QS. Ali Imran: 104
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali Imran: 104)
Dengan demikian, tujuan pendidikan menetapkan tujuan hidup. Tujuan hidup seorang muslim adalah berserah diri kepada Allah sebagaimana tercermin dalam al-Qur’an surah Al-waqi’ah ayat 51. Inilah tujuan yang pantas dan wajib dicantumkan oleh siapapun dalam memberikan pendidikan kepada anak-anak. Natsir menjelaskan bahwa hakikat penghambaan kepada Allah sebagai tujuan hidup juga menjadi tujuan pendidikan kita, bukanlah suatu penghambaan yang memberikan keuntungan kepada yang disembah, tetapi penghambaan yang mendatangkan kebahagiaan kepada yang menyembah, penghambaan yang memberikan kekuatan kepada yang memperesembahkan dirinya itu. Penghambaan inilah yang merupakan tujuan hidup sekaligus tujuan pendidikan yaitu menjadi orang yang mempersembahkan segenap ruhani dan jasmaninya kepada Allah untuk kemenangan dirinya dalam arti yang seluas-luasnya yang dapat dicapai oleh manusia. Itulah tujuan hidup manusia diatas dunia. Tujuan tersebut haruslah ditananmkan pada saat memberikan pendidikan kepada anak-anak kaum muslimin.[21]

D.      Karya-Karya Mohammad Natsir
Muhammad Natsir selain sebagai sosok aktivis pergerakan yang secara langsung menggerakkan berbagai organisasi pergerakan, adalah juga seorang ilmuan yang banyak menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan, baik majalah, maupun buku-buku. Tidak kurang dari 52 judul tulisan yang telah ditulis Natsir dalam berbagai kesempatan, sejak tahun 1930. Buku-buku tersebut antara lain sebagai berikut:
1.    Islam sebagai ideologi, diterbitkan tahun 1951 di Jakarta. Buku ini berisi tentang ajaran Islam dalam kedudukannya sebagai pedoman hidup manusia pada umumnya dan umat islam pada khususnya.
2.    Agama dan Negara, falsafah perjuangan Islam, diterbitkan di Medan tahun 1951, berbicara tentang hubungan agama dan negara.
3.    Capita selekta, diterbitkan di Jakarta berisi dua jilid, jilid 1 ditulis pada tahun 1954 dan jilid II pada tahun 1957. Kedua buku ini mengulas tentang berbagai hal yang berhubungan dengan pemikiran umum mengenai politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya.
4.    The new Morality (Moral Baru), terbit tahun 1969 di Surabaya. Buku yang mengupas tentang pengaruh paham sekuler dalam kehidupan manusia
5.    Islam dan Kristen di Indonesia, diterbitkan oleh CV. Bulan Sabit di Bandung pada tahun 1969, berisi tentang uraian mengenai keberadaan Islam dan dalam menghadapi upaya kristenisasi di Indonesia.[22]

E.       Analisis
Berdasarkan uraian diatas, dimulai dari riwayat hidup, pemikiran beserta karya-karya Muhammad Natsir, telah memberikan gambaran pada kita semua bahwa sosok Muhammad Natsir bukan hanya seorang aktivis dalam pergerakan dalam organisasi pemerintahan, akan tetapi ia juga merupakan seorang ilmuan yang telah melahirkan beberapa buku yang bernuansa pendidikan. Berkaitan dengan sistem pemerintahan, Mohammad Natsir lebih menitik beratkan pada penggunaan sistem pemerintahan demokrasi atau lainya, yang berlandaskan pada ajaran agama Islam yaitu al Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Perjuangan dan pemikirannya dalam hal pendidikan merupakan salah satu konstribusi yang cukup berperan dalam pelaksanaan pendidikan terutama pendidikan yang berbasis pada lembaga keislaman. Bentuk pemikiran sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad Natsir inilah yang seharusnya diterapkan agar tidak terjadinya dikotomi dalam ilmu pengetahuan. Karena sesungguhnya Islam meliputi ilmu seluruhnya baik itu ilmu yang berkenaan dengan pengembangan kurikulum ilmu umum maupun keagamaan. Hal itu dapat kita lihat dari sejarah keemasan pemerintah Islam beberapa tahun silam.
Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam seutuhnya,agar kita mampu membawa diri dari ketertinggalan terutama dalam pendidikan. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan mengimplementasikan nilai dan pemikiran yang diungkapkan oleh Muhammad Natsir dan mengambil pelajaran serta menumbuhkan motivasi perjuangan dengan mempelajari bagaimana sosok Muhammad Natsir dilihat dari riwayat hidupnya terutama bagaimana semangat perjuangan dan pendidikan yang ia tempuh hingga wafatnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1993)
Anwar Harjono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Nasir, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996)
Drs. A. Susanto, M.Pd, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009),
http://digilib.umm.ac.id.Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Natsir, diakses tanggal 20 Januari 2012  
http://azrul-mubin.blogspot.com/2012/07/makalah-m-nasir.html
Mohamad Nasir, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, (Jakarta : Media Dakwah, 1987)
Muhammad Natsir, Kapita Selekta I, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008),
Prof. Dr. H. Ramayulis dan Prof. Dr. Samsul Nizar, M.A, Filsafat Pendidikan Islam,  (Jakarta: Kalam Mulia,2009)



[1] Prof. Dr. H. Ramayulis dan Prof. Dr. Samsul Nizar, M.A, Filsafat Pendidikan Islam,  (Jakarta: Kalam Mulia,2009),hlm. 361
[2] Ibid.
[3] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1993)
[4] Herry Muhammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh pada Abad 20, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 48
            [5] Ajib Rosidi, M. Nasir, Sebuah Biografi, (Jakarta : Girimukti Pasaka, 1990)
[6] Anwar Harjono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Nasir, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996)
[7] Ibid
[8] Drs. A. Susanto, M.Pd, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.116
[9] Mohamad Nasir, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, (Jakarta : Media Dakwah, 1987)
[10] Tohir Luth, M.Nasir, Dakwah dan pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani, 1999)
[11] Drs. A. Susanto, M.Pd, Loc.Cit
[12] Ibid.
[13] Ibid, hlm.120-121
[14] Prof. Dr. H. Ramayulis, Op.Cit.,hlm. 365
[15] Ibid.,hlm. 378
[16] Prof. Dr. H. Ramayulis dan  Prof. Dr. Samsul Nizar, M.A, Op.Cit, hlm. 365
[17] Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Natsir. Diakses tanggal 20 Januari 2012 dari, (http://digilib.umm.ac.id
[18] http://azrul-mubin.blogspot.com/2012/07/makalah-m-nasir.html
[19] Abuddin Nata, Tokoh Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, hlm. 83
[20] Muhammad Natsir, Kapita Selekta I, (Jakarta: Bulan Bintang, 2008), hlm. 86
[21] Drs. A. Susanto, M.Pd, Op.Cit, hlm. 122
[22] Ibid.,hlm. 117

4 komentar:

  1. Subhanalloh, tulisan yang begitu komprehensip tentang M.Natsir

    BalasHapus
  2. Mystino Casino Review – Claim Bonus Codes
    Mystino has a great welcome 188bet bonus that gives you up to $1600 for you to play and win. クイーンカジノ The casino is filled with attractive ミスティーノ offers to get you

    BalasHapus
  3. Mohegan Sun, Uncasville - MapyRO
    Find out which casino is closest to Mohegan Sun, 포천 출장마사지 Uncasville, 충청북도 출장안마 using detailed data from 광주광역 출장마사지 14360 제주도 출장안마 reviews 대구광역 출장안마 of casinos.

    BalasHapus
  4. The casino casino hotel at Harrah's and the LINQ - Air Jordan
    The casino hotel buy jordan 18 white royal blue at Harrah's air jordan 18 retro men sale and the LINQ Hotel 샤오미토토 in air jordan 18 retro men red online site Las Vegas is the most beautiful place to air jordan 18 retro toro mens sneakers be if you're going to visit the action at the

    BalasHapus